Film, dengan kemampuannya untuk menangkap masyarakat dalam segala kompleksitasnya, film merupakan salah satu bentuk ekspresi artistik yang paling kuat. Dari sini film mempunyai potensi untuk menghilangkan prasangka, meningkatkan kesadaran penonton akan berbagai pengalaman kehidupan nyata, memupuk empati, dan memperkuat pemahaman dengan menyajikan cerita dari sudut pandang kelompok-kelompok marginal yang kurang terwakili. Apalagi untuk diaspora Asia-Amerika yang berjumlah sebanyak 7% dari populasi total negara Amerika Serikat yang pengalamannya pun banyak direfleksikan ke dalam film-film yang sedang melambung tinggi di beberapa tahun terakhir ini. Salah satunya adalah Everything Everywhere All At Once yang ditulis dan disutradarai oleh Daniel Kwan dan Daniel Scheinert, dan dirilis pada tahun 2022. Film ini mengangkat cerita keluarga imigran Tionghoa-Amerika bagaimana pada suatu hari sekeluarga tersebut terjerumus ke dalam perjalanan multiverse dan memaksa ibu, Evelyn dan anaknya, Joy untuk menghadapi konflik keluarga antara satu sama lain karena adanya perbedaan budaya. Penelitian ini menggunakan metode analisis dramatistic pentad Kenneth Burke dan teori postcolonialism liminalitas Homi K.Bhabha, dan menemukan bahwa identitas imigran berperan dalam dinamika antar Evelyn dan Joy dimana keduanya terjebak antara dua budaya yang saling berlawanan, yang secara keseluruhan memengaruhi dinamika mereka satu sama lain sebagaimana ditunjukkan dalam film di mana keduanya kemudian mencoba untuk memperbaiki dinamika mereka yang terputus dengan cara berkompromi. Penelitian ini pun mengajak pembaca untuk mengetahui bagaimana faktor lingkungan dan masa lalu berpengaruh pada kesehatan mental orang, khususnya imigran yang hidup dengan dua budaya berbeda dengan konteks budaya yang berlawanan.

Dinamika keluarga, imigran, Everything Everywhere All At Once, diaspora Tionghoa-Amerika, dramatistic pentad, postcolonialism liminalitas, budaya berlawanan.